Pertanyaan yang Sering Ditanyakan

Pertanyaan paling sering dan jawaban terbaiknya dapat diperiksa di sini

Apa saja dimensi pengembangan yang digunakan dalam pengembangan Kawasan Parapuar?

Pengembangan Destinasi Parapuar menggunakan pola dimensi Budaya, Ekologis, Hidrologis, Konservasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Ekonomi

Budaya

Pengembangan Destinasi Parapuar menggunakan pola dimensi Budaya yakni Filosofi “Gendang One Lingko Pe’ang” yang merupakan ruang hidup orang Manggarai yang mencerminkan kedalaman nilai-nilai warisan leluhur. Ruang ini secara umum mencakup lima bagian, yaitu Kampung (Beo Bate Elor/ Natas Bate Labar), Rumah Adat (Mbaru Bate Kaeng, Mbaru Gendang), Altar Persembahan (Compang Bate Takung), Kebun (Uma Bate Duat/ Lingko), dan Sumber Air (Wae Bate Teku). Dalam pengembangan Kawasan nantinya, folosofi ini akan dimanifestasikan dalam Pedoman Pembangunan dalam Kawasan.

Ekologis

Pepres Nomor 32 Tahun 2018, mengamanatkan BPOLBF untuk mengelola Lahan seluas 400 Hektar di Kawasan Hutan Nggorang Bowosie. Untuk saat ini, tepatnya per tanggal 12 September 2023, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengeluarkan Sertifikat HPL untuk total luasan lahan 129,60 Ha yakni Zona 1 kepada BPOLBF. Dari Total lahan HPL ini, hanya 20,05% dari seluruh kawasan yang akan dimanfaatkan pada zona ini.

Hidrologis

Pada lahan HPL 129,60 Ha terdapat satu titik mata air yang akan terus dijaga dengan cara Revitalisasi dan Recovery lahan sekitar yang sudah gersang.

Konservasi

Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) berkomitmen menerapkan prinsip 'satu berbanding sepuluh'. Kawasan Parapuar sendiri sangat terbuka untuk dijadikan lokus bagi seluruh stakeholder yang ingin melakukan aksi penghijauan/green action. 1 Pohon Ditebang Dikonversi dengan 10 Pohon

Ekonomi

Ekonomi juga menjadi salah satu dimensi yang dikembangkan di Parapuar. Pembangunan berbagai fasilitas seperti MICE, Hotel, Restoran, dan berbagai atraksi di Parapuar diharapkan dapat memberi multiplier effect terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan pembukaan lapangan pekerjaan baru di Labuan Bajo Flores.

Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu dimensi yang juga dikembangkan di Parapuar adalah pemberdayaan masyarakat. Dalam pengembangan Kawasan Parapuar, BPOLBF mengutamakan partisipasi masyarakat lokal baik di Kawasan Koordinatif BPOLBF (11 Kabupaten: Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Sikka, Flores Timur, Alor, Lembata, dan dua Kecamatan di Bima) secara umum maupun di 3 Desa Penyangga Kawasan Parapuar (Desa Gorontalo, Desa Golo Bilas, dan Kelurahan Wae Kelambu).

Penjelasan tentang Pohon Munting dan Pohon Teno

Pohon Munting atau Munting sendiri tergolong jenis pohon endemik dengan kayu sudah sangat langka di Manggarai Raya (Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur), Flores, NTT. Hingga tahun 1980-an, sangat akrab dengan masyarakat Manggarai Raya terutama masyarakat pedesaan karena memiliki jenis kayu yang keras, sehingga biasa dimanfaatkan untuk pembuatan lesung.  Budidaya pohon ini bisa meggunakan stek. Sejauh ini kalangan penggiat lingkungan terutama mereka yang tertarik melestarikan jenis kayu lokal, mengetahui proses mendapatkan anakan jenis munting hanya melalui persemaian dari bijinya.         

Pohon Teno (Bahasa Manggarai) adalah nama sejenis pohon yang dalam istilah Latin disebut melochia arborea/melochia ef umbelata. Pohon ini dapat hidup dengan baik di tanah yang kurang subur dan banyak ditemukan di hutan tropis Indonesia.

Bagaimana ketentuan bangunan yang akan dibangun di Kawasan Parapuar?

Terkait keberlanjutan pola ruang dan struktur bangunan harus memperhatikan ketentuan khusus yaitu memiliki izin resmi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam membangun, mengikuti penggunaan pola ruang dan aturan Master Plan, DED, Amdal, dan KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Kawasan Destinasi Parapuar, menampilkan kekhasan lokal dalam bentuk bangunan maupun desain arsitektur (interior dan eksterior) sehingga menciptakan ruang yang merefleksikan keindahan dan identitas budaya setempat, serta setiap bangunan di Parapuar wajib mematuhi batas ketinggian maksimum yang ditetapkan yakni 15 meter atau setara bangunan dua lantai (setinggi Pohon Munting atau Pohon Teno).

Dimanakah posisi geografis Kawasan Parapuar?

Secara geografis Parapuar terletak di LS 8°30'47.9 dan BT 119°53'36.0. Kawasan Zona 1 Destinasi Parapuar, masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Golo Bilas, Desa Gorontalo, dan Kelurahan Wae Kelambu.

Siapa saja investor yang telah berinvestasi di Parapuar?

Sejak Januari 2024, sudah ada dua investor yang menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di Parapuar, yaitu Eiger Indonesia dan Dusit Internasional. Ketertarikan kedua investor ini telah dinyatakan dalam bentuk MoU. Adapun total investasi Dusit Internasional adalah 15 Juta USD di lot 1.6 dengan rencana pembanguan Hotel dan Eiger Indonesia 1,2 juta USD untuk Pembangunan Eiger Coffe. Dusit Internasional sendiri merupakan Perusahaan perhotelan dan pengembangan permukiman asal Thailand sedangkan Eiger Indonesia merupakan salah satu investor dalam negeri yang memproduksi pakaian dan peralatan rekreasi alam seperti mendaki gunung, berkemah, dan panjat tebing. Saat ini Eiger Indonesia juga sedang mengembangkan Eiger Coffe dalam menghadirkan pengalaman ngopi yang berbeda dari sebelumnya.

Mengapa Kawasan ini diberi nama PARAPUAR?

 

 

Parapuar merupakan nama yang diambil dari bahasa setempat (Manggarai) yaitu "Para" yang berarti Pintu/Gerbang dan "Puar" yang berarti Hutan. Pemilihan nama ini didasari oleh prinsip bahwa kawasan ini mengedepankan nilai-nilai keberlangsungan lingkungan dan akan tetap mempertahankan keaslian kawasan yang merupakan hutan produksi, Hutan Nggorang Bowosie.

Berapa luasan total lahan yang dapat dimanfaatkan pada lahan HPL?

Pada kawasan HPL 129,60 Ha yakni Zona 1 hanya 20,05% dari seluruh kawasan yang akan dimanfaatkan pada zona ini atau dengan kata lain lahan yang dapat dimanfaatkan adalah sekitar kurang lebih 25 hektar dari 129,60 hektar.

Ada pertanyaan ?

Lihat FAQ ? atau Hubungi Kami